UNTUK mengetahui kriteria apa yang dapat
membedakan perilaku ekonomi syariah dengan yang bukan, dijelaskan dalam
beberapa literatur dengan melihat tujuh prinsip yang tidak boleh
dilakukan yaitu: Riba, Judi, Dholim (aniaya), Gharar (penipuan), Barang Harom,
Maksiat, Risywah (suap).
Dengan melihat tujuh syarat tadi maka
bila saat ini ada klaim dari beberapa institusi keuangan, baik itu Perbankan
nasional maupun intrenasional, asuransi, BPRS, perusahaan Investasi yang
mengaku sebagai institusi yang telah menerapkan keuangan syariah tetapi belum
berhasil menghindari tujuh prinsip larangan di atas maka Institusi
keuangan tersebut belum bisa dikatakan murni bersyariah.
Pada kesempatan ini saya mencoba berbagi pengalaman pribadi dalam mensikapi perkembangan Ekonomi Syariah sekaligus mereview apakah saya sudah mampu mempraktekkan ekonomi syariah dalam kehidupan sehari-hari saya atau baru sekedar di bibir saja.
Dari pengalaman saya ketika pergi Haji beberapa tahun lalu, pada waktu itu saya berbelanja ke supermarket Bin Dawood di kota Mekah persis di depan masjidil Harom. Pada saat saya membayar belanjaan karena uang tunai Riyal saya kurang maka saya keluarkan kartu Credit dan diterima kasir untuk digesek di mesin otorisasi penyedia kartu kredit tersebut, yaitu Master Card.
Ketika itu terbersit dalam benak saya bahwa bila kita bertransaksi dengan kartu kredit berarti kita menciptakan hutang yang bila pengembalian dibayar melalui cicilan berbunga berarti perbuatan tersebut bisa dikatagorikan riba dan haram. Oleh sebab itu bila saya ingin terhindar dari keharoman maka pada saat jatuh tempo harus dibayar lunas.
Sengaja saya ceritakan peristiwa tersebut saya lakukan ketika di Mekah untuk mengingatkan bahwa sementara kita ingin meningkatkan pahala dan mencari pengampunan dosa, ironisnya kadang-kadang kita sengaja menciptakan dosa secara tidak sengaja yaitu melakukan praktek riba... Naudzubillahi min dzalik.
Suatu ketika saya ingin membeli kendaraan operasional untuk usaha saya, dan saya bertekad untuk tidak menggunakan leasing company yang kreditnya dengan bunga bank (sebut saja konvensional). Saya hubungi salah satu Bank Perkreditan Rakyat syariah. Dalam pelaksanaannya pengajuan fasilitas pembiayaan saya disetujui tetapi dengan syarat yang menurut saya sangat berat bila dibandingkan dengan apabila kita menggunakan leasing konvensional. Hal yang memberatkan saya sebagai nasabah pengusaha ekonomi menengah antara lain: Tingkat bagi hasil yang lebih memberi keuntungan besar pada BPRS, dimana secara kalkulasi bisnis, biaya saya menjadi relatif tinggi tetapi saya terpaksa menerima karena kebutuhan dana mendesak (di sini ada unsur keterpaksaan dan belum berdasar kesepakatan saling ridho).
Saya menggunakan hak negosiasi saya dengan mengharapkan tingkat bagi hasil yang lebih kecil, namun pihak BPRS mengatakan bahwa dana yang dimiliki adalah dana para pemegang saham atau penabung dan BPRS harus memberikan return dan keuntungan kepada para deposan dan pemegang saham yang sebanding dengan bila mereka menanamkan dananya di Bank konvensional.
Di sinilah letak kunci BELUM SEMPURNANYA penerapan Syariah pada instrumen keuangan perbankan meskipun menggunakan baju Bank Rakyat dan Syariah. Para deposan yang notabene pemilik uang “nganggur” dan ingin dikembangkan rupanya masih berpikir profit motive. Gain sebesar besarnya. This is business. Sehingga menempatkan pengelola BPRS tidak bisa memberi bagi hasil murah bagi nasbah yang notabene adalah yang sedang membutuhkan dukungan permodalan untuk bisa menghidupkan roda berputar usahanya yang sebenarnya memiliki dampak perputaran ekonomi produktif. Kondisi demikian menempatkan saya sebagai obyek penerapan ekonomi syariah. Saya berniat Amal sholih. Tetapi sayalah yang sebenarnya membantu para pemegang saham dengan memberi keuntungan yang besar kepada mereka. Di sinilah belum terciptanya azas saling Tolong Menolong. Apakah tujuh persyaratan syariah tidak dilanggar?
H . Ashar Budiman SE
Pengamat Ekonomi syariah
Ketua DPP LDII Koordinator Bidang
Pengembangan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat
Komentar
Posting Komentar