Bank
Dunia meluncurkan laporan Analisa Belanja Publik (Public Expenditure
Analysis – PEA) Sulawesi Tenggara Tahun 2014. Laporan tersebut merupakan
hasil kerja kolaboratif antar Bank Dunia, Lembaga Penelitian (LEMLIT)
UHO, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam press realise yang
diterima suarakendari.com, peluncuran laporan tersebut diiringi dengan
penyerahan dokumen laporan dari perwakilan Bank Dunia dan LEMLIT UHO
kepada Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, H. Saleh Lasata.
Acara peluncuran yang berlangsung pada kegiatan Musrenbang Provinsi
Sulawesi Tenggara di Hotel Clarion, Kendari, Sulawesi Tenggara,
tersebut, Ekonom Senior Bank Dunia, Gregorius Daan V. Pattinasarany
memaparkan hasil kajian beserta rekomendasi kebijakan untuk mendorong
pertumbuhan tinggi, berkelanjutan, dan inklusif di Sulawesi Tenggara.
Daan mengatakan bahwa Sulawesi
Tenggara masih memerlukan pertumbuhan tinggi untuk bisa menciptakan
konvergensi tingkat kesejahteraan masyarakatnya dengan provinsi lain di
Sulawesi maupun nasional. Pada tahun 2013, PDRB per kapita riil Sulawesi
Tenggara masih sebesar Rp. 6,3 juta per kapita per tahun. Angka
tersebut masih dibawah PDRB per kapita riil Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tengah yang sudah diatas Rp. 7 juta per tahun, atau Sulawesi
Utara dan Nasional yang masing-masing sudah diatas Rp. 9 juta dan Rp. 10
juta per kapita per tahun.
Jika Sulawesi Tenggara bisa mengelola pertumbuhan diatas 10 persen,
tingkat kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara dapat setara dengan
Sulawesi Selatan tahun 2022, dan dengan rata-rata nasional tahun 2030.
Pertumbuhan Sulawesi Tenggara yang melambat dari 10,4 persen tahun 2012
menjadi hanya 7,3 persen tahun 2013 harus segera diantisipasi karena
pertumbuhan dibawah dua digitsulit menyumbang proses konvergensi
tersebut.
Meski demikian, Daan optimis Sulawesi Tenggara mampu memulihkan
kembali pertumbuhan menjadi dua digit pada dua tiga tahun mendatang.
Yang perlu dilakukan, menurut Daan, adalah memulihkan dan menstabilkan
pertumbuhan sektor pertanian; mempercepat transformasi industri
pertambangan dari berbasis bijih nikel (ore) menjadi olahan; mempercepat
pembangunan infrastruktur terutama jalan dan perhubungan laut; dan
mendorong perluasan lapangan kerja untuk menyerap penduduk usia
produktif yang rata-rata tumbuh 2,2 persen per tahun.
Ihsan Haerudin, Ekonom Bank Dunia yang juga ketua tim asistensi
teknis penyusunan laporan PEA Sultra 2014 menambahkan, “Sulawesi
Tenggara pernah menjadi provinsi dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi
di Indonesia pada 6 tahun pertama otonomi daerah (2001-2006) dengan
pertanian sebagai motor penggerak utama pertumbuhan,”ungkapnya.
Menurut Ihsan,pada periode tersebut pertanian bisa tumbuh rata-rata
6,3 persen. Sejak tahun 2007 sampai 2012, pertumbuhan sektor pertanian
memang mengalami perlambatan menjadi rata-rata hanya 3,7 persen per
tahun. Hal ini karena adanya kontraksi di subsektor perkebunan antara
tahun 2009-2011, dan juga perlambatan pertumbuhan subsektor perikanan
antara tahun 2010-2012.
Dengan menurunnya kontribusi pertambangan yang sempat menjadi
penggerak pertumbuhan tinggi tahun 2010-2012, Sulawesi Tenggara bisa
kembali ke sektor pertanian disertai dengan upaya pengembangan industri
pengolahannya. Secara keseluruhan, untuk memulihkan sektor pertanian,
Ihsan melihat pentingnya peningkatan jumlah, kualitas,dan
profesionalisme penyuluh pertanian maupun perikanan.
Pertumbuhan Berkelanjutan
Terkait pertumbuhan berkelanjutan, Daan menyarankan adanya percepatan
transformasi industri pertambangan dari berbasis bijih nikel menjadi
olahan. Menggunakan data perkiraan harga tertinggi dan terendahkomoditi
nikel dan olahannya (ferronikel) dari Bank Indonesia, Daan memperkirakan
Sulawesi Tenggara bisa meningkatkan nilai tambah hingga 73 sampai 173
kali lipat jika Sultra berhasil melakukan transformasi tersebut.
Dengan nilai tambah sebesar itu, selain bisa tumbuh lebih tinggi,
Sulawesi Tenggara bisa tumbuh berkelanjutan. Selain mengurangi tingkat
eksploitasi dan kerusakan lingkungan, keuntungan dari industri olahan
yang jauh lebih tinggi juga lebih dari cukup untuk pemulihan lingkungan
paska operasi asal diikuti sistem pengawasan yang ketat.
Untuk itu, Daan menyarankan perlunya dukungan pemerintah daerah untuk
membangun infrastruktur di kawasan pertambangan, membantu pengusaha
tambang untuk memperoleh akses permodalan, atau mendorong BUMN atau BUMD
bergerak di sektor pertambangan. Lebih dari itu, Daan menyarankan
perlunya reformasi tata-kelola pertambangan terutama menyangkut
pemberian Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Pertumbuhan Inklusif
Sektor pertanian dalam arti luas dapat membantu Sulawesi Tenggara
mencapai dua hal sekaligus, yakni pertumbuhan tinggi dan juga inklusif,
yakni pertumbuhan yang diciptakan melalui partisipasi dari dan memberi
dampak kepada masyarakat luas. Pertumbuhan inklusif ditandai dengan
pertumbuhan yang disertai dengan partisipasi tenaga kerja dan menurunnya
tingkat kemiskinan. Berdasarkan data Susenas tahun 2011, lebih dari 60
persen dari 40 persen masyarakat termiskin di Sulawesi Tenggara bekerja
di sektor pertanian. Peningkatan pembangunan pertanian dapat membantu
Sulawesi Tenggara mengurangi kemiskinan.
Seiring dengan pertumbuhan tinggi yang pernah dicapai Sulawesi
Tenggara, indeks gini yang merupakan indikator yang mengukur tingkat
ketimpangan juga cenderung meningkat. Pada tahun 2007, Indeks Gini
Sulawesi Tenggara masih 0,35, lebih rendah dari nasional sebesar 0,38.
Pada tahun 2013, Indeks Gini Sultra sudah mencapai 0,43, lebih tinggi
dibanding nasional sebesar 0,41.
Disamping itu, dengan menggunakan data Susenas tahun 2009 dan 2011,
diketahui bahwa pendapatan per kapita 40 persen rumah tangga termiskin
selalu tumbuh lebih rendah dibanding rata-rata penduduk. Penciptaan
pertumbuhan dengan demikian harus memperhatikan kelompok 40 persen
masyarakat termiskin tersebut.
Secara keseluruhan, Daan
berpendapat bahwa Pemerintah Sulawesi Tenggara melalui RPJMD-nya tahun
2013-2018 telah berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi dengan
mencanangkan pertumbuhan diatas 10 persen. Target tersebut juga disertai
dengan target-target untuk pengurangan tingkat pengangguran dan tingkat
kemiskinan. Namun Daan menyarankan agar kebijakan yang baik tersebut
dapat didukung oleh program dan kegiatan yang berkualitas, alokasi
anggaran yang memadai, serta efesiensi dalam penggunaanya.
Disamping itu, Belanja pemerintah daerah untuk fungsi-fungsi ekonomi
seperti belanja PU (Pekerjaan Umum), perhubungan, pertanian, perikanan dan kelautan,
pengembangan industri pengolahan, energi dan pertambangan, dan
ketenagakerjaan perlu ditingkatkan. Berdasarkan laporan PEA Sultra tahun
2014 tersebut, selama periode pengamatan dari 2007-2011, belanja untuk
sektor-sektor tersebut masih sangat minim. Menurut Daan, khusus untuk
perhubungan, pertanian, serta energi dan pertambangan, peran pemerintah
pusat masih lebih dominan dibanding belanja pemerintah daerah. Sudah
sepatutnya, peran pemerintah pusat yang kuat tersebut dapat diikuti
dengan dukungan belanja pemerintah daerah serta penguatan koordinasi
antar-pemerintahan.
(Sumber : suarakendari.com)
Komentar
Posting Komentar